Slawi, Beritainspiratif.com - Berkunjung ke Slawi tidak pernah dibayangkan sebelumnya dan secara tidak sengaja hal tersebut terjadi saat
usai menghadiri Reuni Akbar di STIMART AMNI Semarang, saya pun mengantarkan rekan Alumni yang berasal dari Slawi sekalian ingin tahu lebih jauh tentang Slawi, dan akhirnya saya berkunjung ke Slawi pada Minggu, (30/12/2018).
Slawi ternyata kini sudah berumur ratusan tahun, dan riwayatnya satu zaman dengan kehidupan tokoh Ki Gede Sebayu yang berhasil mendirikan Tetegal pada awal tahun 1600-an.
Dilansir dari berbagai media, Dikisahkan bahwa anak Ki Gede Sebayu yang bernama Nini Dwijayanti yang terkenal cantik, cerdas, dan cekatan, memiliki kegemaran menunggang kuda dan membuat banyak orang semakin kagum padanya. Kalau sudah diatas pelana kuda Nini Jayanti akan tampak seperti bidadari yang turun dari langit biru.
Ki Gede Sebayu sering didatangi utusan yang menanyakan keadaan NIni Jayanti. Ada yang berterus terang ingin melamar, ada juga yang hanya sekadar mencari-cari keterangan. Pendek kata, Ki Gede Sebayu harus melayani banyak orang yang sama-sama berharap dapat menyunting Nini Jayanti. Ternyata hal itu menimbulkan kerepotan sebab keputusan bukan di tangannya sendiri. Jadi, tidaklah gampang menjawab atau menolaknya. Kemudian pada suatu senja, berkatalah dia kepada Nini Jayanti dengan kata-kata yang ramah.
“Ketahuilah anakku, sudah banyak orang yang menanyakan dirimu. Kata mereka, Nini Jayanti sudah pantas bersanding dengan seorang jejaka yang tampan. Lantas, bagaimana pendapatmu sendiri?”
“Alhamdulillah, Kalau betul banyak yang memandang saya berlebihan. Padahal rasanya masih harus belajar banyak perkara. Sedangkan soal perkawinan, pasti Ayahanda sudah menyimpan kebijaksanaan,” jawab Nini Jayanti dengan santun, tegas, dan jelas.
Ketika Jayanti masih kecil sering mendengar dongeng dan hikayat tentang sandiwara perkawinan. Apakah boleh dicontoh?.
“Engkau sungguh cerdas, Jayanti. Dengan sayembara itu akan tampak adil dan pasrah kepada takdir Ilahi. Lantas, apakah sayembaranya?”
Katanya siapa pun yang dapat menebang dan merobohkan pohon jati raksasa di gunung selatan akan dijadikan suami Nini Dwi Jayanti, biar pun dia jelata miskin, atau tidak berpangkat akan tetap dilayani sepanjang hayat.
Untuk mengjormati keberanian mereka dibuatlah perkemahan di sekitar pohon jati raksasa tersebut, tiap perjaka diberikan satu kemah sehingga ada 25 kemah di gunung selatan. Tentu saja pada zaman itu belum ada kata kemah. Yang lazim adalah kata candi yang berarti ‘rumah’. Jadi, dalam waktu singkat berdirilah dua puluh lima candi di gunung selatan.
Satu per satu mereka memperlihatkan kehebatan masing-masing. Tepuk tangan dan sorak sorai penonton semarak berkepanjangan. Setiap sore berduyun-duyun penduduk ingin menyaksikan robohnya jati raksasa. Akan tetapi, selama belasan hari belum ada tanda-tandanya. Padahal setiap peserta sudah menguras tenaganya dengan susah payah. Ternyata pohon itu tetap bertahan. Bahkan keesokan paginya pulih berdiri seperti semula.
Pada hari terakhir, menjelang sore datanglah seorang santri diiringi sejumlah remaja yang santun-santun. Dia mengaku bernama Ki Jadug dan memohon izin mengikuti sayembara. Dia terlambat karena memang baru saja mendengar kabar di perjalanan.
Kemudian berkatalah Ki Gede Sebayu dengan nada rendah.
“Baiklah. Silakan mencobanya. Mudah-mudahan Allah melimpahkan mukjizat-Nya kepadamu.”
Sejenak Ki Jadug berpamitan untuk berwudu, lantas bersembahyang dua rekaat disaksikan seluruh penonton yang berdebar.
Tidak lama kemudian, tampaklah Ki Jadug mengayunkan kampaknya dengan jurus silat yang hebat. Ternyata pada ayunan kelima terdengarlah gemuruh angin lesus dan bumi pun berguncang. Orang-orang berlarian menjauhi gelanggang. Pada saat itulah pohon jati raksasa roboh perlahan-lahan tanpa menyentuh seorang pun di sekitarnya.
“Saudara-saudaraku, saksikanlah, takdir Allah menetapkan Ki Jadug menjadi Suami Nini Jayanti. Upacara pernikahan akan dilaksanakan dengan syariat Islam dan adat yang pantas. Saksikan juga bahwa jati keramat ini adalah milik kita bersama. Kelak akan menjadi tiang utama atau saka guru keraton di bumi Tetegal. Saksikan juga kelak apabila tempat ini menjadi makmur akan bernama Candi Selawe.
Ki Jadug adalah seorang bangsawan Mataram. Dia sengaja mengembara untuk berguru dan berdakwah. Setelah menikah dengan Nini Dwijayanti lantas menggunakan nama aslinya, Pangeran Purbaya. Mereka hidup bahagia dan dikenal sebagai tokoh terpandang di daerah Tegal.
Adapun nama Candi Selawe yang berarti ‘candi’ atau rumah dua puluh lima buah’ itu lama-lama terucapkan Selawi atau Slawi seperti sekarang. Pada tahun 1956, kota tersebut ditetapkan sebagai ibukota Kabupaten Tegal. Namun, Perpindahan Kantor Kabupaten Tegal ke Slawi baru berlangsung pada tahun 1986.
Kabupaten Tegal memiliki luas sekira 876,10 km2 mempunyai kontur tanah berupa dataran rendah di bagian utara dan pegunungan di bagian selatan dengan ibukotanya yang berlokasi di Kecamatan Slawi yang berada di tengah-tengah antara pegunungan dan pantai.
Bagi pendatang dari luar kota ketika pertama kali menginjakan kakinya di Kabupaten Tegal khususnya Kota Slawi maka akan ditemukan tradisi minum teh yang banyak dilakukan oleh penduduknya. Hal tersebut pastinya akan menjadikan image atau pencitraan bahwa Kota Slawi merupakan kota teh. Hal ini juga didukung dengan beberapa ikon kota yang berbentuk poci sebagai tempat menyeduh teh yang tersebar dibeberapa sudut kota seperti di bundaran depan Masjid Agung Kabupaten Tegal dan perempatan jalan setelah Taman Rakyat Slawi Ayu (Trasa).
Sumber : Cerita rakyat dari Tegal (Jawa Tengah), Oleh Yudiono KS
(Yanis)