Jakarta, Beritainspiratif.com - Prof Dr H Ishomuddin MSi, dosen pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) meraih memecahkan rekor Museum Rekor Dunia Indonesia (Muri) karena perolehan sertifikat HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual) nya.
Sertifikat diperoleh pada 11 Februari 2019 lalu.
“Saya mengambilnya di Jakarta. Karya saya mulai 2013-2018.”
“Saya mendapatkan haki sebanyak 110 dari buku-buku dan model.”
“Namun yang saya daftarkan 100,” jelas Ishomuddin yang dilansir SuryaMalang, Jumat (15/3/2019).
Dijelaskan Kaprodi Pascasarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UMM ini, awalnya ia menghubungi Muri untuk menanyakan apakah pernah memberi penghargaan dosen untuk haki.
Ternyata pernah. Yaitu salah satu dosen dengan jumlah haki sebanyak 35.
Sedang miliknya lebih dari itu. Seluruh sertifikat haki miliknya diteliti selama dua minggu.
Setelah dinyatakan masuk rekor, maka ia mengambilnya di Jakarta.
Tak ada selebrasi berlebihan. Sebab semangatnya adalah menunjukkan kinerja atau karya akademik/intelektual.
Informasi ia mendapat sertifikat itu banyak dibagikan ke grup-grup guru besar.
“Saya ingin menggetarkan gubes-gubes se Indonesia,” ungkapnya.
Apa yang dilakukan tak ingin dikaitkan dengan tunjangan dsb.
“Saya minir sekali ada anggapan setelah jadi gubes malah tidak produktif,” ujarnya.
Dengan prestasi itu, setidaknya bisa jadi citra baik buat dirinya, guru besar juga UMM.
Menurutnya, sejak awal ia memang sangat produktif.
“Saat orang tidur, saya bangun,” katanya.
Apa yang dipikirannya dituliskan dan menjadi buku atau model.
Dari 100 sertifikat haki itu, sebanyak 25 berupa karya buku dan 75 berupa model.
Kemudian ia mengurus haki ke Sentral Haki UMM.
“Per haki biayanya Rp 950.000. Jadi kalau 110 an sudah lebih dari Rp 100 juta,” kata dia.
Nah, hal seperti ini yaitu mengurus haki apalagi meronggoh kocek cukup besar, biasanya kurang diminati dosen karena sayang duitnya. Tapi ia menyatakan tidak sayang.
“Karena ini karya intelektual,” kata dia.
Karena produktif, para gubes lain juga menanyakan resepnya.
Ia hanya bilang, untuk datang ke Malang dan dibagikan resepnya.
“Saya mengalir saja,” kata pria kelahiran Lamongan, 17 April 1959 ditanya resep produktifnya.
Katanya, jika ingin eksis, maka harus produktif.
(Yanis)