Bandung,Beritainspiratif.com - Masalah upah buruh di Indonesia cukup komplek. Terdapat perbedaan yang cukup mencolok besaran upah minimum satu daerah dengan daerah lainnya. Sejumlah pabrik di Jawa Barat, bahkan terancam tutup dan direlokasi ke daerah lain atau ke luar negeri, karena tidak sanggup membayar upah yang ditetapkan dan setiap tahun naik.
Kompleksnya permasalahan upah buruh, diakui Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil ketika membuka Pembahasan Reformasi Kebijakan Pengupahan di Jawa Barat bersama ILO, di Gedung Sate kota Bandung, Senin (29/7/2019).
Menurut Emil, kompleksnya permasalahan upah buruh, dikarenakan penetapan upah minimum kabupaten/ kota diserahkan kepada daerah masing-masing.
Padahal, Indonesia memiliki 500 kabupaten/ kota, yang berarti ada 500 pemimpin dengan 500 mindset.
Saat ini keputusan upah minimum buruh, diserahkan kepada 500 daerah tersebut, yang logika dan leadership qualitynya berbeda-beda.
"Maka kenapa UMK Karawang bisa 4 juta padahal upah minimum Jawa Barat sudah ditetapkan Rp1,6 juta, karena didemo takut tidak dipilih lagi, takut tekanan. Perbedaan gapnya Rp2,5 juta. Absurd menurut saya," katanya.
Menurut Emil, semakin terlalu banyak variasi di daerah, upah buruh ini semakin uncredible. Karena itu ia mengusulkan penetapan UMK didesentralisasi, inputnya datang dari daerah tapi decision ahirnya harus dari pemerintah pusat.
"Saya cenderung upah buruh ini didesentralisasi. Jd menurut saya yang harus diselesaikan adalah hirarki pengambilan keputusan upah. Existing hari ini terlalu rumit, karena diserahkan kepada 500 daerah. Saran saya adalah ditarik ke pusat dengan input dari derah," usul Emil.
Hal senada disampaikan Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jawa Barat Deddy Wijaya.
"Kalau bisa upah itu disentralisir, jangan seperti sekarang masing-masing. Sehingga terjadi gejolak yang sangat membosankan, buang energi dan tidak ada manfaatnya," ujar Deddy kepada wartawan.
Dikarakan Deddy, perlu adanya zona industri untuk mencegah terjadinya gejolak buruh. Untuk daerah dengan upah tinggi, ditetapkan sebagai zona industri padat modal, sedangkan yang padat karya di sentralisir ke Majalengka, Pangandaran, Ciamis, Garut.
"Kalau zona ini sudah dibagi, tidak akan terjadi gejolak buruh seperti selama ini, setiap tahun demo," keluhnya.
"Selama ini, yang melakukan demo adalah buruh dengan upah tinggi, sedangkan buruh dengan upah rendah hampir tidak ada demo,"imbuhnya.
Sementara itu Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jawa Barat Ade Afriandi mengungkapkan, ancaman penutupan dan relokasi pabrik terutama terjadi di kabupaten Bogor, Subang, Purwakarta, Bandung dan Bandung Barat.
Jumlah yang terancam tutup dan direlokasi 54 pabrik dengan 64 ribu pekerja. Khusus di kabupaten Subang, terdapat 31 pabrik garmen, 5 pabrik diantaranya telah ditutup pada awal tahun 2019.
"Setidaknya, dalam waktu dekat ini 130 pekerja dapat kehilangan pekerjaannya hanya di dua kabupaten saja," pungkas Ade. (Ida)