Bandung, Beritainspiratif.com - Novita Dwi Susanti merupakan wisudawati dari Magister Teknik Elektro, Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI). Tak ada yang menyangka, di tengah keterbatasan fisik yang ia alami, namun Novita tetap survive dan bisa menyelesaikan pendidikannya di ITB. Novita mengikuti Sidang Terbuka Wisuda Pertama ITB Tahun Akademik 2019/2020 di Gedung Sabuga, Sabtu (19/10/2019), sesi siang.
Novita menceritakan pengalaman hidup dan perjuangannya dari mulai lulus SMA hingga sekarang. Setelah lulus SMA pada 2003, ia menempuh pendidikan di D3 Teknik Telekomunikasi Politeknik Negeri Malang (dahulu Politeknik Brawijaya) pada 2003-2006. Setelah itu, ia melanjutkan S1 Teknik Telekomunikasi Universitas Brawijaya Malang pada 2006-2010.
Perjuangan beratnya dimulai ketika ia menderita penyakit diabetes pada 2010. Saat itu ia sedang bekerja di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bandung. Diabetes yang dideritanya semakin parah seiring bertambah waktu. Belum lagi, ia divonis menderita Chronic Meolyd Leukemia (CML), yaitu penyakit kanker darah putih yang mengakibatkan pendarahan di kedua matanya. Pendarahan tersebut menyebabkan penglihatannya hilang selama dua bulan. Setelah dioperasi, mata sebelah kanan bisa melihat dengan kondisi juling, sementara itu mata kirinya buta total.
Novita yang berasal dari Nganjuk, Jawa Timur, ini sempat aktif sebagai peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Bandung. Ia terlibat dalam berbagai proyek penelitian. Namun, setelah sakit, ia pindah ke Pusat Penelitian Teknologi Tepat Guna (P2 TTG) LIPI Subang, dekat dengan tempat tinggal keluarganya.
Setelah satu tahun bekerja di sana, terdapat peraturan yang mensyaratkan agar peneliti menempuh pendidikan minimal S2. Hal ini memacu Novita untuk melanjutkan studi S2. Berkat perjuangannya mengikuti tes beasiswa dan tes kemampuan Bahasa Inggris yaitu TOEFL, ia mendapat beasiswa pendidikan dari LIPI sehingga berhasil menempuh pendidikan di Magister Teknik Elektro ITB.
Keberhasilan Novita untuk menyandang status mahasiswi ITB memberikan kebahagiaan tersendiri bagi keluarganya, terutama orangtua. Ayahnya sangat bangga karena sempat berharap anaknya bisa berkuliah di ITB. Hal ini menjadi motivasi bagi Novita agar selalu mencari ilmu yang bermanfaat.
Masa-masa kuliah di ITB merupakan saat yang berat dan menantang bagi Novita. Dia harus naik-turun tangga yang cukup melelahkan ketika lift tidak bisa digunakan. Penglihatannya yang terbatas membuatnya harus ekstra fokus saat memperhatikan kuliah. Tak jarang pula ia harus menjalani kuliah di malam hari.
Dengan keterbatasan fisik yang dimilikinya, rupanya tak menyulutkan semangat belajar Novita. Ia memanfaatkan e-book materi kuliah untuk memahami apa yang diajarkan dosen di kelas. Selain itu, ia pun senantiasa bertanya kepada dosen maupun mahasiswa lain terkait materi kuliah yang tidak ia pahami.
Di balik perjuangannya, selalu ada orang yang bersedia membantu baik saat kuliah maupun di saat-saat yang lain. Selain itu, peran suami juga sangat besar karena selalu menyemangatinya untuk menjalani kehidupan. “Awalnya saya merasa tidak pantas berkuliah di sini karena banyak mahasiswa yang lebih pinter dari saya, tapi akhirnya banyak yang menyemangati saya, ada juga yang mau menggandeng saya saat berjalan,” tutur Novita yang diungkap dilaman resmi ITB.
Berasal dari keluarga sederhana, Novita merupakan seseorang yang pantang menyerah. Ibu satu anak ini senantiasa mencari suatu solusi dari suatu masalah yang menurutnya bisa dipecahkan. Ia senang ketika bisa bermanfaat bagi orang lain.
Sebagai tugas akhir, Novita membuat thesis berkaitan dengan sistem sensor konsentrasi alkohol pada distilator. Setelah lulus, Novita memiliki rencana untuk mengembangkan ide bisnis pembuatan kuenya. Sementara itu, rencana untuk menempuh pendidikan S3 sangat ia pikirkan matang-matang mengingat kondisi matanya yang makin memburuk. “Saya berusaha untuk checkup dulu, memastikan apakah saya siap untuk lanjut S3. Kalo ternyata fisik saya membaik, dan ada rezekinya, ya saya jalani,” pungkas Novita. (Yanis)