- Pemilu & Pilkada
- 23 Nov 2024
Surabaya, Beritainspiratif.com – Secara harfiah, osteoporosis artinya tulang keropos, yang ditandai dengan penurunan kepadatan tulang. Tulang yang awalnya padat menjadi tipis dan berongga, sehingga kekuatan tulang pun menurun dan menjadi rentan terhadap trauma maupun fraktur (tulang patah).
Di tengah pesatnya perkembangan teknologi saat ini, berbagai permasalahan pun tentunya dapat terselesaikan dengan teknologi yang ada, termasuk di dunia kesehatan.
Oleh karena itu, masih sulitnya deteksi dini terhadap penyakit osteoporosis menarik perhatian Rarasmaya Indraswari, mahasiswa program doktor Ilmu Komputer Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya.
Melalui disertasi berjudul ‘Sistem Deteksi Osteoporosis Berdasarkan Fitur Cortical Bone Rahang Bawah pada Cone-Beam Computed Tomography (CBCT)’, perempuan yang akrab disapa Raras ini berhasil menyandang gelar doktor di usia belia, 24 tahun, usai dinyatakan lulus dalam Sidang Promosi Doktor yang digelar di Departemen Teknik Informatika ITS, Kamis (20/2) lalu.
Gadis kelahiran Kediri, 17 Juli 1995 ini menerangkan bahwa selama ini gejala dari osteoporosis seringkali tidak terdeteksi dan tidak dirasakan oleh penderita.
“Penyakit yang menyerang sistem rangka manusia ini biasanya baru terdeteksi ketika penderita sudah mengalami patah tulang,” tuturnya.
Tampilan user interface dari Sistem Deteksi Osteoporosis ciptaan Rarasmaya Indraswari dalam disertasi doktoralnya.
Hingga saat ini, gadis berkerudung tersebut menambahkan, standar deteksi osteoporosis adalah dengan mengukur kepadatan mineral tulang atau yang biasa disebut bone mineral density (BMD) pada tulang punggung menggunakan perangkat Dual Energy X-Ray Absorptiometry (DEXA).
Hasil pengukuran tersebut berkorelasi dengan lebar tulang kortikal rahang bawah pada gambar dua dimensi (2D) dari rahang manusia. Tulang kortikal adalah jaringan pembentuk sebuah tulang. Gambar 2D rahang tersebutlah yang saat ini mudah didapatkan karena harganya yang cukup terjangkau bagi masyarakat.
Namun, kata Raras, terdapat sebuah permasalahan yakni hasil yang menunjukkan beberapa gambar gigi yang tumpang tindih atau disebut superimposisi.
“Untuk itu, dengan CBCT, bisa didapat gambar tiga dimensi (3D) tulang rahang, sehingga menjadi lebih jelas dan detail,” jelasnya.
Adapun sistem deteksi yang diusulkan Raras dikembangkan secara otomatis berdasarkan fitur tulang kortikal rahang bawah pada CBCT.
Sistem tersebut terdiri dari empat tahap utama, dimulai dengan preprocessing untuk melakukan slicing atau pemotongan pada gambar CBCT, segmentasi tulang kortikal rahang bawah, ekstraksi fitur kekeroposan tulang kortikal, serta klasifikasi untuk menentukan apakah seseorang termasuk dalam kelompok normal, osteopenia, atau osteoporosis.
Pada tahap pertama, terang Raras, tulang rahang disegmentasi menjadi tiga bagian dengan menggunakan nilai intensitas grayscale dan bentuk dari tulang kortikal.
“Metode tersebut dipilih karena bersifat adaptif terhadap setiap slice atau potongan CBCT,” imbuh alumnus SMAN 5 Surabaya tersebut.
Hasil segmentasi bagian tulang kortikal inferior kemudian digunakan dalam proses ekstraksi. Hasil ekstraksi tersebut kemudian digunakan untuk melakukan klasifikasi data menjadi kelompok normal, osteopenia, dan osteoporosis menggunakan metode Multiclass SVM.
Menggunakan 30 buah data CBCT yang disertai dengan hasil pengukuran BMD memakai perangkat DEXA, sistem yang diusulkan oleh Raras ini telah berhasil melakukan deteksi osteoporosis dengan akurasi mencapai 87,10 persen.
Alumnus S1 Teknik Informatika ITS yang berhasil menyelesaikan pendidikan sarjananya dalam tujuh semester ini menyatakan bahwa perlu dilakukan sosialisasi hasil penelitiannya pada praktisi, dalam hal ini para dokter gigi.
Raras berharap ia dapat memberikan sumbangsih bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat melalui penelitian yang telah ia rampungkan.
“Semoga dapat berguna untuk masyarakat luas,” pungkasnya.*
Sumber: Laman resmi ITS