- Pemerintahan
- 21 Nov 2024
Muncul kecaman dari seluruh dunia atas perlakuan Myanmar terhadap minoritas Rohingya, namun di Yangon pandangannya sangat berbeda, seperti dilaporkan Saw Yan Naing dari BBC Burma.
Jika Anda berbicara dengan siapa pun di jalanan Yangon, kota terbesar dan ibu kota Myanmar sebelum dipindahkan ke Naypyidaw, mengenai apa yang terjadi di negara bagian Rakhine dan Anda tidak akan mendengar kata “Rohingya”.
Kelompok minoritas itu disebut sebagai “orang Bengali”, merefleksikan sebuah persepsi umum bahwa anggota komunitas Rohingya adalah orang asing, imigran dari Banglades, dengan budaya dan bahasa yang berbeda.
Apa yang dilihat di mata internasional sebagai isu HAM dipandang di Myanmar sebagai suatu kedaulatan nasional, dan muncul dukungan luas untuk operasi militer di utara Rakhine.
Baca: Myanmar Bunuh Tiga Terduga Militan Rohingya di Rakhine
Koran-koran membawa kepentingan pemerintah, yaitu membawa sikap bahwa Tentara Penyelamatan Rohingya Arakan atau Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) menyerang lebih dari 20 pos pasukan keamaan Myanmar pada 25 Agustus 2017.
Sebagai respons, pasukan yang juga dikenal sebagai Tatmadaw, meluncurkan operasi militer di Maungdaw, wilayah yang tercabik oleh konflik di Rakhine.
Permusuhan panjang
Kebanyakan orang Myanmar memandang peliputan media internasional berpihak, terlalu condong ke Rohingya, dan tidak cukup meliput penderitaan orang non-Rohingya di Rakhine yang melarikan diri dari kekerasan di desa mereka.
Akses media di daerah yang terdampak di Rakhine sangat terbatas, jurnalis asing tak bisa datang ke sana dengan bebas dan karenany tak bisa memverifikasi kisah-kisah mereka.
Media lokal fokus pada “serangan teroris” dan pada evakuasi orang non-Rohingya yang juga tersingkir akibat konflik.
Suatu berita utama di Myawaddy Daily, berbunyi, " Teroris Bengali ekstremis ARSA akan menyerang kota-kota besar".
Yang lainnya, di situs berita Eleven, juga serupa, "Ekstremis ARSA teroris Bengali menyerang pasukan keamanan di kota kecil Maungdaw".