- Pemerintahan
- 23 Nov 2024
Bandung, Beritainspiratif.com - Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Iwan Syahril mengungkapkan, sertifikasi dalam jabatan yang sudah berlangsung selama beberapa tahun terakhir sukses mengantarkanmu sekitar 1,8 juta guru mendapatkan sertifikat pendidik.
Program ini menghabiskan tidak kurang dari Rp 5,5 triliun dan Rp 523 triliun lainnya sebagai tunjangan profesi guru atau tunjangan sertifikasi sejak 2006 hingga 2019.
Dalam lima tahun terakhir, tunjangan profesi guru mencapai 12-18 persen dari total anggaran pendidikan nasional.
Pertanyaan yang kemudian muncul, apakah program tersebut sudah menghasilkan dampak atau outcomes yang diinginkan?
Mengutip laporan studi randomized experiment berskala besar yang dilakukan The World Bank, Iwan menyebut program sertifikasi guru Indonesia tidak berdampak pada hasil belajar siswa.
Padahal, sambung Iwan, siswa merupakan puncak dari hasil kegiatan pendidikan.
“Meminjam analogi Pak Presiden Jokowi, menjalankan program pemerintah itu seperti menggunakan aplikasi WhatsApp. Sebuah pesan akan terkirim, lalu kemudian sampai atau delivered. Program harus lebih banyak delivered, dari sekadar sent. Lebih banyak diterima oleh mereka yang kita targetkan. Nah, banyaknya program-program kita statusnya sent. Program terlaksana, anggaran terserap, tapi delivered-nya lemah,” kata Iwan pada webinar bertajuk “Reformasi LPTK untuk Pendidikan Bermutu”.
Kegiatan ini diprakarsai IKA UPI dalam memperingati Hari Pendidikan Nasional 2020, Selasa (12/5/2020).
Tak hanya itu, mengutip Studi Video TIMSS pada 2015 lalu, Iwan menilai tidak adanya perbedaan praktik mengajar dan hasil belajar siswa antara guru-guru bersertifikasi dengan guru-guru bersertifikasi. Malah guru-guru bersertifikasi cenderung menggunakan pendekatan yang berpusat pada guru.
Rendahnya outcomes juga tampak jelas dari skor assesmen internasional seperti Programme for International Student Assessment (PISA).
Hasil assesmen menunjukkan tidak adanya peningkatan secara konsisten dan signifikan pada performa siswa Indonesia. Bahkan, performa siswa Indonesia pada PISA 2018 menurun dibanding 2015 lalu.
“Mas Menteri menerjemahkan delivered dalam konteks pendidikan adalah kualitas hasil belajar siswa. Artinya, yang kita inginkan adalah kualitas belajar siswa menjadi lebih baik. Itu yang menjadi acuan program yang kita lakukan. Setiap program yang kita lakukan harus bisa menjawab kualitas belajar siswa. Tidak hanya program terlaksana dan anggaan terserap. Karena itu, dalam kerangka utama transformasi guru yang sudah dipresentasikan kepada Presiden, murid diletakkan paling atas,” terang Iwan.
“Kita harus melakukan ekperimentasi dengan ide-ide baru dan meninggalkan pola-pola lama, cara-cara lama, yang kita sudah tahu bahwa hasilnya tidak mencapai pada delivered kualitas yang kita inginkan,” tambah Iwan.
Lebih jauh mantan Dekan Fakultas Pendidikan Sampoerna University ini menjelaskan, kebijakan Merdeka Belajar dalam konteks guru dan tenaga kependidikan menempatkan murid sebagai tujuan utama. Lalu, sekolah berperan sebagai unit inovasi utama. Untuk melakukan itu, perlu program-program yang penciptanya adalah sekolah-sekolah penggerak.
Sekolah penggerak ini ditopang lima pilar utama:
Pertama, transformasi kepemimpinan pendidikan.
Kedua, transformasi pendidikan profesi guru (PPG) prajabatan.
Ketiga, pengembangan ekosistem belajar guru di setiap provinsi.
Keempat, komunitas pendidikan yang bergotong-royong untuk tujuan yang sama.
Kelima, regulasi, tata kelola, dan koordinasi dengan pemerintah daerah.
“Dalam budaya kita, mau tidak mau, pemimpin itu adalah kunci. Pemimpinnya sudah oke, ekosistemnya bisa lebih cepat. Bergerak lebih cepat lagi," pungkasnya.
(Ida)