Tradisi 'NADRAN' di Cirebon yang Munculkan Konflik Dikaji IPB University

Ilustrasi upacara adat nadran di Cirebon / Foto: Istimewa


Beritainspiratif.com - NADRAN adalah upacara adat nelayan yang dilaksanakan di pesisir utara pantai pulau Jawa, seperti Subang, Idramayu dan Cirebon. Upacara ini bertujuan untuk mensyukuri nikmat atas hasil laut dan bumi yang melimpah, dan berharap terjadi peningkatan hasil pada tahun mendatang sambil berdoa.

Upacara Adat Nadran rutin digelar tiap tahun, dengan kesenian tradisional serta pasar malam yang diselenggarakan selama seminggu. Umumnya upacara Adat Nadran diselenggarakan antara bulan Oktober sampai Desember dan biasanya diadakan di Pantai Eretan Kulon, Eretan Wetan, Dadap, Limbangan dan Karangsong. Sedangkan di Kabupaten Subang diadakan di Pantai Blanakan. 

Beberapa mahasiswa IPB University mencoba mengkaji tradisi Nadran Gunungjati yang ada di Desa Sirnabaya dan Desa Purwawinangun, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat dikaitkan dengan konflik yang terjadi di masyarakat.

Mahasiswa IPB University tersebut tergabung dalam Program Kreativitas Mahasiswa bidang Riset Sosial Humaniora (PKM RSH) terdiri dari Alfi, Hanifaty Fadhilah dan Hofifah Indah Faramita, dan dibimbing oleh dosen pendamping Hana Indriana, SP, MSi.

Baca Juga: 1.000 Pesantren di Jabar Dapat Bantuan Modal Program OPOP 2021

Alfi yang merupakan Ketua PKM-RSH tersebut menjelaskan, Nadran Gunungjati ialah salah satu tradisi sakral yang berada di Cirebon bagian utara, salah satunya di Kecamatan Gunungjati. Tradisi Nadran terdiri dari dua jenis yaitu sedekah bumi dan sedekah laut.

“Tradisi ini sebagai bentuk rasa syukur masyarakat terhadap hasil laut dan bumi (pertanian) dengan melakukan doa bersama di makam keramat dan berdoa di tengah laut. Dalam tradisi ini terdapat ritual-ritual khusus,” terang Alfi, (3/9/2021) yang diunggah dilaman resmi IPB University. 

Salah satu rangkaian Nadran Gunungjati ialah ogoh-ogohan, yaitu setiap desa membuat karya kreatif berupa boneka raksasa dan karya lainnya lalu diarak menyusuri jalan raya dan disaksikan warga. Ogoh-ogohan ini disinyalir kerap menimbulkan keributan antar peserta.

Alasan Alfi dan tim memilih riset ini karena penasaran dengan dampak dari tradisi Nadran Gunungjati. Di samping memiliki nilai-nilai luhur seperti religi, sosial, budaya, dan ekonomi, pada pelaksanaan tradisi ini, kerap terjadi tawuran antar warga, seperti di Desa Sirnabaya dan Desa Purwawinangun.

Dalam pelaksanaan penelitiannya, Alfi dan tim mencari beberapa informasi terkait tradisi Nadran Gunugjati dan konfik sosial yang terjadi. Mereka mencari tahu persepsi beberapa tokoh penting (seperti kepala desa, tokoh adat, dan tokoh pemuda), mengetahui proses terjadinya konflik antar warga, dan mengetahui hubungan antara tradisi Nadran Gunungjati dengan konflik sosial.

Alfi dan tim menggunakan metode wawancara secara mendalam yang dilakukan secara offline dan menyebarkan kuisioner yang dilakukan secara online.

“Karena penelitian adalah topiknya cukup sensitif, maka tidak semua informan yang ingin kami wawancara bersedia diwawancara. Misalnya, informan yang merupakan korban tawuran, seorang ibu-ibu yang rumahnya pernah dibakar, mereka tidak bersedia di wawancara karena masih mengalami trauma yang sangat dalam,” ungkapnya.

Kendati demikian, Alfi dan tim mendapat pengalaman yang sangat berharga dari penelitian yang dilakukan mulai Juni hingga September itu. Menurutnya banyak wawasan terutama ilmu baru dari dosen pendamping juga masyarakat yang memberi insight baru.

Sementara itu, menurut dosen pendamping dari IPB University Hana Indriana, SP, MSi, PKM-RSH yang berjudul ‘Tradisi Nadran Gunungjati’ ini sangat menarik karena berupaya mengkaji satu realitas sosial pada masyarakat yang memiliki tradisi luhur dengan nilai-nilai kerjasama. 

“Ternyata pada masyarakat tersebut juga kerap muncul konflik berupa tawuran antar warga. Idealnya pada masyarakat yang memegang kuat nilai-nilai tradisi akan mampu meredam atau meminimalisasi munculnya konflik. Jadi, semakin kuat nilai-nilai tradisi dalam suatu masyarakat maka intensitas munculnya konflik semakin rendah,” tutur dosen Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, IPB University ini.

Lebih lanjut dikatakannya, tim PKM-RSH ini menghasilkan beberapa temuan penting, yakni tradisi Nadran Gunungjati tetap menjadi nilai luhur masyarakat Cirebon yang diekspresikan dalam berbagai aktivitas bersama.

Adapun konflik yang muncul berupa tawuran lebih dipicu oleh miskomunikasi, rasa iri, sensitifitas tinggi, dan mudahnya emosi akibat perselisihan yang cenderung terjadi di antara kelompok pemuda pada berbagai kesempatan, bahkan ketika prosesi Nadran berlangsung.

Merujuk pada kondisi tersebut, ia berharap kepada berbagai pihak, terlebih para pemimpin lokal dan pimpinan lembaga setempat untuk mendorong pengorganisasian di masyarakat. Perlu pendampingan secara berkala, sosialisasi, pembinaan, dan pemberdayaan masyarakat (khususnya kepada para pemuda) agar senantisa menghayati dan memperkuat nilai-nilai luhur tradisi Nadran. 

“Saya juga sangat berharap penelitian ini dapat menjadi acuan untuk mendorong tim-tim PKM RSH lainnya melakukan studi-studi bidang kajian terkait masyarakat yang dinamis dan terus bertransformasi,” pungkasnya.

(Yanis)

Baca Juga:

PPKM Jawa-Bali Diperpanjang Hingga 13 September, Level 2 Jadi 43 Daerah

Mahasiswa UGM Teliti Tradisi Perang Obor di Jepara

AHY Dikukuhkan Jadi Mahasiswa Baru Program Doktor di UNAIR

Setelah 41 tahun Tim Paralimpiade Bisa Raih Emas, Presiden: Saya Tunggu di Istana

Berita Terkait