Dewan Pers Ungkap Wartawan Abal-Abal, Bermodalkan Kartu Identitas Buatan Sendiri

Ketua Dewan Pers, Prof. Komaruddin Hidayat / Foto: IST.


BERITAINSPIRATIF.COM - Ketua Dewan Pers, Prof. Komaruddin Hidayat, menyoroti maraknya praktik wartawan abal-abal atau yang kerap disebut “wartawan bodrek” sebagai salah satu dampak dari tingginya angka pengangguran dan kebebasan bermedia sosial di Indonesia.

Dalam rapat kerja bersama Komisi I DPR RI pada Senin (7/7/2025), Komaruddin menjelaskan bahwa fenomena ini muncul akibat mudahnya seseorang mengaku sebagai wartawan hanya dengan bermodal kartu identitas buatan sendiri, tanpa memiliki kompetensi jurnalistik maupun tercatat secara resmi di Dewan Pers.

"Memang akibat dari pengangguran, dan juga kebebasan bermedsos yang muncul ini, mudah sekali di daerah itu orang buat kartu nama, kemudian wartawan online, seenaknya saja. Padahal mereka tidak terdaftar resmi di Dewan Pers," ujarnya.

Baca Juga: Pengurus AMSI Jabar Periode 2024-2028 Dilantik, Siap Sinergi untuk Jabar!

Komaruddin mengungkapkan, modus operandi yang dilakukan para oknum ini cukup sederhana: datang ke lokasi proyek pemerintah, memotret aktivitas yang dianggap bermasalah, lalu mengancam akan memberitakannya jika tidak diberikan imbalan.

“Bagi kepala daerah yang tidak tahu, dan juga mungkin kinerjanya kurang bagus, ini jadi sasaran empuk. Pemda langsung otomatis keluar duitnya,” kata Komaruddin.

Ia mengimbau pemerintah daerah agar tidak melayani permintaan dari pihak-pihak yang mengaku wartawan tetapi tidak terverifikasi secara resmi.

“Yang tidak tercatat (di Dewan Pers) jangan ditanggapi. Kecuali memang kinerja pemda tadi kurang beres, ya itu agak panjang urusannya,” tegasnya.

Baca Juga: 5 Polisi Teladan Peraih Hoegeng Awards 2025

Untuk mengatasi persoalan ini, Dewan Pers tengah memperkuat kerja sama dengan Kementerian Dalam Negeri dan Kepolisian dalam melakukan literasi media kepada pemerintah daerah. Salah satu solusi yang ditawarkan adalah pengecekan identitas wartawan melalui database resmi Dewan Pers.

Selain itu, Komaruddin juga menyoroti tantangan industri media saat ini, khususnya terkait pergeseran belanja iklan dari media konvensional ke media sosial. Kondisi ini menyebabkan banyak media mengalami krisis keuangan hingga terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap jurnalis-jurnalis profesional.

“Iklan sebagai darah di media massa sekarang banyak mengalir ke medsos. Media mainstream seperti TV dan surat kabar tidak kebagian. Akibatnya mereka melakukan PHK karena tidak bisa bayar karyawan,” jelasnya.

Komaruddin berharap DPR dan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) dapat memfasilitasi dialog antara pemerintah daerah dan industri media agar jurnalis-jurnalis bersertifikat yang terkena PHK bisa disalurkan ke instansi-instansi yang membutuhkan, termasuk pemda.

“Setiap pemda juga butuh tenaga wartawan yang memang skillful. Sayang kalau mereka yang sudah dilatih dengan biaya tinggi malah menganggur,” imbuhnya.

Sebagai langkah preventif, Dewan Pers juga terus menyelenggarakan pelatihan jurnalistik di berbagai daerah, baik kepada wartawan lokal maupun aparatur pemerintah, guna mempersempit ruang gerak para oknum yang menyalahgunakan profesi wartawan demi kepentingan pribadi. (*)

Lihat Berita dan Artikel lainnya di: Google News 

Berita Terkait