- Pendidikan
- 21 Aug 2025
BERITAINSPIRATIF.COM - Plenary session hari pertama International Conference on Management in Emerging Markets (ICMEM) 2025 menghadirkan diskusi yang kaya perspektif mengenai masa depan inovasi berkelanjutan di negara berkembang. Bertempat di School of Business and Management ITB (SBM ITB), sesi yang dipandu oleh Helmy Yahya tersebut mengundang Prof. Shaker A. Zahra (University of Minnesota), Assoc. Prof. Shane Mathews (Queensland University of Technology), dan Prof. Yos Sunitiyoso (SBM ITB sekaligus pejabat di Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi).
Helmy mengawali diskusi dengan pertanyaan tajam yaitu apakah negara berkembang akan terus menjadi pasar bagi produk‐produk inovatif global, atau mampu menjadi produsen inovasi berkelanjutan? Pertanyaan ini menjadi benang merah dialog antar panelis yang membahas isu inovasi dari kacamata strategi bisnis, kebijakan publik, serta kesiapan ekosistem nasional.
Inovasi dan Kapabilitas Dinamis
Prof. Shaker Zahra menjawab pertanyaan dari Helmy. Menurutnya, keterbatasan yang dimiliki negara berkembang bukanlah penghalang, melainkan justru sumber energi untuk berinovasi dan melompat. “Emerging markets adalah garis depan di mana masa depan inovasi berkelanjutan sedang dibentuk. Kebiasaan lama memang sulit diubah, tapi justru di situlah peluang emas untuk melangkah ke depan,” ujarnya.
Ia menegaskan pentingnya dynamic capabilities atau kapabilitas dinamis yakni kemampuan organisasi untuk bereksperimen, beradaptasi, dan mengubah arah ketika menghadapi ketidakpastian. Organisasi di pasar berkembang, lanjutnya, harus membangun fleksibilitas strategis supaya bisa bertahan sekaligus menghasilkan inovasi. Zahra lalu mencontohkan Afrika, tempat keterbatasan akses masyarakat terhadap bank tradisional malah memunculkan inovasi mobile banking. “Keterbatasan sering dilihat sebagai hambatan, padahal bisa menjadi katalis lompatan. Dari tanpa bank langsung menuju layanan digital dan ini bukti nyata bagaimana emerging markets dapat bergerak lebih cepat,”jelasnya. Ia menyimpulkan bahwa negara berkembang perlu memandang tantangan sebagai ruang inovasi, bukan sekadar kendala.
Baca Juga: SBM ITB Dorong Pemberdayaan Masyarakat di Bangka Belitung
Belajar dari China dan Vietnam
Helmy kemudian mengalihkan pertanyaan kepada Shane Mathews. Bagaimana Indonesia dapat bersaing dengan negara lain? Menurut Mathews, kuncinya ada pada konsistensi kebijakan jangka panjang.
“China punya strategi yang konsisten yaitu mereka ingin menjadi pemimpin dunia di bidang kecerdasan buatan dan digitalisasi. Itu yang membuat perusahaan mereka seperti Baidu dan Huawei bisa jadi pemain global. Indonesia juga punya peluang, tapi perlu strategi jangka panjang yang konsisten,” ungkapnya.
Ia menegaskan, inovasi tidak bisa lahir dalam hitungan singkat. “Kalau setiap pemilu kebijakan berubah, maka strategi tidak akan berkelanjutan. Padahal, inovasi butuh waktu panjang, 15–20 tahun,” jelasnya.
Mathews menambahkan bahwa Vietnam menjadi contoh lain bagaimana konsistensi kebijakan bisa menarik investasi asing. Pemerintah Vietnam, katanya, berfokus membangun sektor industri dengan regulasi yang jelas dan stabil. Akibatnya, banyak perusahaan multinasional menjadikan Vietnam sebagai basis produksi.
“Kalau Indonesia ingin mengejar, maka harus bisa menciptakan kepastian serupa. Digitalisasi membuka akses pasar global, tapi semua itu akan sia-sia tanpa konsistensi,” tambahnya.
Triple Helix dan Keberlanjutan
Diskusi berlanjut dengan pertanyaan kepada Prof. Yos Sunitiyoso tentang langkah konkret pemerintah. Yos menekankan perlunya sinergi antara universitas, industri, dan pemerintah atau yang ia sebut triple helix.
“Kami di Kementerian sudah menyiapkan skema insentif agar riset universitas bisa langsung dimanfaatkan industri. Indonesia punya potensi demografi besar, tapi tanpa konsistensi strategi, peluang ini bisa hilang,” jelas Yos.
Ia menambahkan, strategi nasional tidak boleh hanya mengejar pertumbuhan ekonomi, tetapi juga harus memasukkan aspek keberlanjutan. “Inovasi tidak boleh hanya mengejar pertumbuhan ekonomi, tapi juga harus memperhatikan keberlanjutan. ESG harus menjadi bagian dari strategi,” ucapnya.
Helmy sempat menimpali bahwa selama ini banyak penelitian akademik hanya berhenti di jurnal, tanpa diimplementasikan lebih jauh.
Bonus Demografi: Berkah atau Bencanantingnya insentif bagi industri agar mau bermitra dengan universitas. “Tanpa kemitraan ini, riset tidak akan punya dampak nyata,” katanya.
Baca Juga: ICMEM 2025 SBM ITB: Kolaborasi Global Hadirkan 7 Negara Peserta
Bonus Demografi: Berkah atau Bencana?
Menjelang akhir sesi, Helmy menyinggung isu yang sangat dekat dengan Indonesia yaitu bonus demografi. “Kita punya bonus demografi yang luar biasa. Tapi kalau tidak ada strategi jangka panjang, bonus ini bisa berubah menjadi bencana demografi,” ujarnya.
Prof. Zahra merespons dengan menekankan investasi pendidikan. “Bonus demografi hanya akan jadi berkah jika ada investasi serius pada pendidikan dan inovasi. Tanpa itu, justru pengangguran yang akan meningkat,” katanya.
Mathews menambahkan, “Generasi muda ini adalah aset, tapi mereka butuh ekosistem yang mendukung. Tanpa kesinambungan kebijakan, bonus demografi bisa hilang begitu saja.”
Sementara itu, Prof. Yos mengingatkan bahwa Indonesia tidak boleh puas menjadi bangsa konsumen. “Pilihan ada di tangan kita : apakah kita mau jadi bangsa konsumen, atau produsen inovasi? Bonus demografi harus dijaga dengan arah strategi yang jelas dan berkesinambungan,” ujarnya.
Selain menyoroti pentingnya konsistensi kebijakan dan kolaborasi, sesi kali ini juga menegaskan bahwa riset menjadi fondasi utama agar Indonesia mampu menghasilkan inovasi yang relevan dan berdampak. Para panelis menjelaskan bahwa banyak hasil penelitian universitas berhenti di jurnal karena terbatasnya pendanaan, kurangnya apresiasi terhadap peneliti, serta masih jauhnya konektivitas antara akademisi dan dunia usaha. Pertanyaan yang diberikan peserta juga menunjukkan tingginya perhatian terhadap ketersampaian hasil riset ke industri. Menanggapi hal tersebut, pembicara mendorong perlunya membangun culture of research yang lebih kuat agar pengetahuan tidak berhenti sebagai produk akademik semata, melainkan bisa dikembangkan menjadi model bisnis yang menarik investasi serta menjawab persoalan strategis seperti bonus demografi dan transformasi digital. Dengan memperkuat dukungan terhadap riset, Indonesia diharapkan mampu melakukan lompatan inovasi dan mempercepat pergeseran dari pasar konsumen menjadi produsen inovasi berkelanjutan di kancah global.
Penyelenggaraan plenary session hari pertama ini menjadi pengingat kuat bahwa inovasi berkelanjutan bukan sekadar wacana, tetapi menuntut aksi dan sinergi nyata dari seluruh pemangku kepentingan. ICMEM 2025 membuka ruang diskusi, namun arah perubahan sejati bergantung pada kemauan kolektif kita untuk berkolaborasi, berinvestasi pada talenta muda, serta menjaga konsistensi strategi jangka panjang. Saatnya Indonesia melangkah dari pangsa pasar menuju panggung produsen inovasi global.