- Pemilu & Pilkada
- 23 Nov 2024
Jakarta, Beritainspiratif.com - Penilaian pada Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) 2018 tidak lagi menerapkan poin minus untuk setiap jawaban yang salah.
Dengan menerapkan pendekatan item response theory (teori respons butir), panitia akan memberikan poin 1 untuk setiap jawaban yang benar, sedangkan untuk jawaban yang salah dan tidak menjawab soal mendapat poin nol. Kendati demikian, nilai akhir yang diperoleh setiap peserta akan berbeda meskipun soal yang dijawab dengan benar jumlahnya sama.
Mengutip pikiranrakyat.com, Sekretaris Panitia Pusat SNMPTN/SBMPTN Joni Hermana mengklaim, sistem baru ini memiliki daya saring lebih tinggi dan adil bagi semua peserta. Hanya siswa yang memiliki kompetensi yang akan mendapat nilai tinggi. Pasalnya, dalam menilai, panitia juga mempertimbangkan tingkat kesulitan yang berbeda pada setiap soal.
“Metode penilaian pada SBMPTN 2018 ini memperhitungkan jumlah soal yang dijawab dengan benar dan salah oleh peserta serta memperhitungkan karakteristik setiap soal jawaban yang salah atau tidak dijawab. Dengan menggunakan model matematika, akan dapat diketahui tingkat kesulitan soal-soal yang dikategtorikan mudah, sedang, maupun sulit,” kata Joni dihubungi dari Jakarta, Senin 16 April 2018.
Dengan tidak diterapkannya poin minus seperti tahun lalu, peserta seleksi SBMPTN lebih baik menjawab semua soal. Kendati demikian, jawaban benar dari setiap soal SBMPTN belum tentu mengakumulasikan jumlah nilai akhir yang sama. Pasalnya, panitia menerapkan 3 tahap untuk menghitung nilai akhir yang bisa diraih oleh setiap peserta seleksi.
Joni menyatakan, setiap jawaban dari soal SBMPTN tidak langsung akan diproses menjadi nilai akhir, melainkan harus masuk ke proses tahap 2. Menurut dia, pada tahap 2, para penilai akan menganalisis karakteristik jawaban dengan menggunakan pendekatan teori respons butir. Metode ini akan mampu menganalisis tingkat kesulitan relatif masing-masing soal terhadap soal yang lain.
Ia menjelaskan, karakteristik soal yang diperoleh pada tahap 2 digunakan untuk menghitung skor setiap peserta. Tahap penghitungan skor dilakukan oleh tim yang memiliki kompetensi di bidang pengujian, pengukuran, dan penilaian.
“Dengan sistem ini, maka setiap peserta yang dapat menjawab jumlah soal yang sama dengan benar, akan memperoleh nilai berbeda tergantung pada soal mana saja yang mereka jawab dengan benar,” ujarnya.
Joni mencontohkan, peserta A dapat menjawab dengan benar 5 soal, yaitu 1,5,7,11, dan 13, sedangkan peserta B juga dapat menjawab 5 soal dengan benar, yaitu nomor 1,5,9,12, dan 15. Kedua peserta tersebut akan mendapatkan skor akhir yang berbeda. “Karena butir soal yang dijawab dengan benar oleh peserta A memiliki tingkat kesulitan berbeda dengan butir soal yang dikerjakan dengan benar oleh peserta B,” katanya.
Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir mengatakan, sistem baru ini lebih terukur dan menjauhkan peserta dari upaya menjawab soal dengan “untung-untungan”. Menurut dia, hasil penyaringannya lebih berkualitas dan berkeadilan. “Kalau semua soal diberi bobot yang sama maka tidak ada keadilan dalam nilai. Harapannya agar tidak ada lagi unsur gambling,” kata Nasir.
Ia menjelaskan, sistem baru ini hanya mengakui adanya jawaban benar dan salah, sedangkan penentu bobot jawaban mana yang lebih tinggi akan dinilai pada proses penilaian berikutnya di tahap 2.
Soal-soal yang banyak siswa gagal menjawab akan dikategorikan sebagai soal sulit dan mendapat bobot lebih tinggi. “Kalau ini dilakukan, maka nilai saya 80 dengan teman lain yang juga 80 akan dilihat siswa mana yang mampu menjawab soal sulit lebih banyak,” ucapnya.
Pengamat pendidikan Said Hamid Hasan menyatakan, sistem penilaian baru ini lebih memenuhi kaidah dan standar penilaian yang benar. Menurut dia, peserta seleksi tidak akan lagi hanya menjawab soal yang mereka yakini benar karena mempertimbangkan sistem skoring.
“Yang harus dicegah jangan ada penalti minus 1 untuk jawaban salah,” ujarnya.
(Kaka)
Foto: style.tribunnews.com