Muhammad Iqbal (Dekan Fakultas Psikologi Universitas Mercusuar): "Arti radikal sebenarnya netral atau positif, yaitu cara berfikir dan berprilaku mendasar......."



Jakarta, Beritainspiratif.com - Cap radikalisme kini merebak di tengah masyarakat, setelah Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengindikasikan tujuh perguruan tinggi negeri (PTN) terpapar radikalisme.

Pernyataan itu tentu saja dibantah oleh para rektor PTN yang terkena dampak negatif. Bahkan, ada pula yang menyatakan 40 masjid di Provinsi DKI Jakarta menunjukkan gejala radikalisme, namun Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan masih meragukannya, demikian ditulis laman Hidayatullah.

Dekan Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana, Muhammad Iqbal, meluruskan makna radikal agar tidak meresahkan masyarakat.

“Arti radikal sebenarnya netral atau positif, yaitu cara berpikir dan berperilaku yang mendasar, menggali sampai ke akar permasalahan. Karena itu, orang yang berpikir radikal biasanya melakukan lompatan jauh dalam berbagai bidang. Seperti Albert Einstein dalam bidang fisika yang mengeluarkan teori relativitas, itu bersifat radikal,” ujar Iqbal.

Penemuan komputer dan teknologi internet juga membawa perubahan radikal dalam kehidupan masyarakat.

“Saya dulu bisa menyelesaikan kuliah program doktor di luar negeri pada usia 30 tahun karena berpikir radikal. Saya bertekad tidak akan pulang sebelum lulus doktor, meskipun harus berjuang keras dan belajar lebih disiplin daripada mahasiswa lain,” tambah Iqbal, alumni UIN Jakarta dan menamatkan program doktor di Universitas Kebangsaan Malaysia dalam diskusi bertema “Menangkal Terorisme melalui Ketahanan Keluarga”  hasil kerjasama dengan Pusat Advokasi Hukum dan HAM (Paham) Indonesia, Lembaga Kajian Strategi dan Pembangunan (LKSP), dan Center for Indonesian Reform (CIR).

Semua itu, tidak membuatnya terseret pada tindakan terorisme yang menggunakan kekerasan.

Sementara itu, Deputi Bidang Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi BNPT, Irfan Idris, menyatakan istilah radikal sudah terlanjur dimaknai negatif oleh media massa.

“Padahal, radikal tidak selalu berhubungan dengan terorisme karena radikal ada juga bermakna positif, terutama dalam dunia ilmiah,” Irfan mengakui dalam focus group discussion (FGD) yang diselenggarakan Aliansi Perempuan Peduli Indonesia (ALPPIND).

Irfan yang juga guru besar UIN Alaudin Makasar itu menyatakan bahwa dia tidak setuju kalau  Kerohanian Islam (Rohis) dan  Lembaga Dakwah Kampus (LDK) dicurigai atau dibatasi karena dicap radikal.

“Seharusnya dibina karena perannya sangat penting dalam membentuk kepribadian siswa/mahasiswa. Bagaimana mereka yang belajar agama, juga memahami pentingnya dasar negara dan pilar kehidupan berdemokrasi,” jelas Irfan.

Sapto Waluyo, Direktur CIR yang ikut memelopori terbentuknya gerakan #BersamaLawanTerorisme mengungkapkan stigma radikalisme dan terorisme terhadap aktivis dan organisasi Islam sudah berlangsung lama.

“Pola itu selalu muncul menjelang momen politik yang hangat di tingkat lokal, nasional atau global. Di masa Orde Baru, aktivis Muslim disebut ekstrem kanan, sementara pendukung ideologi komunis disebut ekstrem kiri. Ketika terjadi Revolusi Iran (1979) atau Arab Spring (2010), marak istilah fundamentalisme Islam.

Menurutnya, istilah radikalisme muncul lagi setelah peristiwa serangan gedung World Trade Centre di New York (2001) dan Bom Bali (2002). “Semuanya dikaitkan dengan terorisme. Itu stigma menyesatkan karena Islam mengajarkan perdamaian bukan kekerasan,” papar Sapto.

Untuk itu, Koalisi Masyarakat untuk Kebebasan Sipil mengajak seluruh elemen warga agar menyatakan sikap: #BersamaLawanTerorisme dalam segala bentuknya. Aksi teror tak hanya serangan bom ke rumah ibadah atau kantor polisi, melainkan penyerbuan ke kantor media massa atau tuntutan pembubaran ormas/partai politik tanpa bukti pelanggaran hukum, juga tergolong teror. Jika hal itu dibiarkan, maka akan memancing kekerasan lebih besar, karena ada kelompok yang merasa lebih berkuasa dari seluruh warga.

(Kaka)

Berita Terkait