- Pemilu & Pilkada
- 24 Nov 2024
Beritainspiratif.com – Usai menjalankan ibadah puasa sebulan penuh di bulan Ramadhan, umat Islam di seluruh dunia merayakan Idul Fitri pada 1 Syawal. Perayaan diwarnai dengan takbir, tasbih dan tahmid sepanjang hari.
Setelah melaksanakan shalat Ied, jamaah saling bertegur sapa dan saling mendoakan. Suasana seperti ini umum kita temui pada momen Idul Fitri. Tapi, ada satu tradisi yang khas di Indonesia pada momen Idul Fitri ini, yakni tradisi halal bi halal.
Dikutip dari laman islami.co, Sejarah yang paling populer mengenai asal-usul tradisi halal bi halal ini yaitu sebuah tradisi yang dimulai oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I, atau dikenal dengan Pangeran Samber nyawa.
Adapun asal-usul istilah halalbihalal memiliki beragam versi. Halalbihalal sendiri merupakan istilah bahasa Indonesia yang menggunakan kata berbahasa Arab. Di negara Arab sendiri, baik kata maupun tradisinya, tidak ada sama sekali. Ini betul-betul khas Indonesia. Karena keunikannya, sehingga seorang dubes Belanda untuk Indonesia yang juga ahli sastra Arab, Nikolaos Van Dam, mengira bahwa halal bi halal adalah kata berbahasa Arab. Namun, setelah mencari referensi literatur Arab, ternyata dia tidak menemukan sama sekali kata maupun tradisi yang dimaksud.
Sebelum dibakukan menjadi kata dalam bahasa Indonesia, halal bi halal sudah ditemukan dalam kamus bahasa Jawa-Belanda kumpulan Dr. Th. Pigeaud terbitan tahun 1938 yang persiapannya dimulai di Surakarta pada tahun 1926 atas perintah Gubernur Jenderal Hindia-Belanda pada tahun 1925. Halalbihalal dalam kamus tersebut terdapat pada entri huruf ‘A’ dengan kata ‘alal behalal’ dengan arti yang sama dengan arti ‘halalbihalal’ yang dibakukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yaitu acara maaf-memaafkan pada hari Lebaran dan merupakan suatu kebiasaan yang khas Indonesia.
Salah satu versi menyebutkan bahwa kata halalbihalal sudah ada sejak tahun 1935-1936. Diceritakan bahwa pada setiap hari Lebaran, ada penjual martabak berkebangsaan India yang berjualan di gerbang Taman Sriwedari, Surakarta. Ia dibantu oleh seorang pribumi untuk mendorong gerobak dan mengurus api penggorengan. Untuk menarik para pembeli, Si Pembantu tadi berteriak-teriak, “Martabak Malabar, halal bin halal, halal bin halal!” Kemudian anak-anak menirukan ucapannya dengan “halal behalal”. Sejak saat itu, istilah halal behalal menjadi populer di kalangan masyarakat di Surakarta.
Versi lain menyebutkan bahwa halal bi halal merupakan gabungan kata berbahasa Arab. Ada dua kata halal yang berarti ‘boleh’ atau ‘diizinkan’ digabungkan dengan kata penghubung bi yang berarti ‘dengan’. Sehingga berarti halal dengan halal, artinya saling menghapus segala hal yang dilarang, seperti dosa dan kesalahan terhadap orang lain. Meskipun ketiga kata ini berasal dari bahasa Arab, tidak dikenal penggabungan kata seperti itu dalam bahasa Arab.
Versi berikutnya menyebutkan bahwa kata halal bi halal berawal dari keterbatasan bangsa Indonesia dalam berbahasa Arab ketika menunaikan ibadah haji. Ketika terjadi tawar-menawar harga barang, jamaah Indonesia hanya berkata “halal?”. Lalu ketika penjual berkata “halal”, maka transaksi disetujui bersama.
Apapun yang melatar belakangi munculnya tradisi dan istilah ini di bumi Indonesia, ini adalah nilai bangsa yang harus dilestarikan sebagai bukti bahwa agama tidak bertentangan dengan budaya lokal, bahkan justru ikut membangun tumbuh kembangnya. Seperti juga yang diakui oleh Umar Kayam, seorang budayawan Indonesia, yang menilai tradisi halalbihalal ini sebagai terobosan akulturasi budaya Jawa dan Islam. (Yanis)