Diskusi antara Guru Besar Bidang Ilmu Politik Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Prof. Dr. Cecep Darmawan, Ketua Pemuda ICMI Jawa Barat, Jalu Priambodo, MT, dengan KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) Jawa Barat di Ganesha Cafe, Jl Brigjen Katamso, Bandung, Kamis (1/2/2024)
BERITAINSPIRATIF.COM - Tanda-tanda terjadinya kecurangan jelang Pilpres 2024 sudah dapat dilihat. Kondisi ini jika dibiarkan akan menyebabkan rusaknya demokrasi yang telah dibangun dengan susah payah.
Demikian rangkuman hasil diskusi antara Guru Besar Bidang Ilmu Politik Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Prof. Dr. Cecep Darmawan, Ketua Pemuda ICMI Jawa Barat, Jalu Priambodo, MT, dengan KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) Jawa Barat di Ganesha Cafe, Jl Brigjen Katamso, Bandung, akhir pekan lalu.
Cecep Darmawan mengatakan dalam aspek kenegaraan, banyak hal yang dijalankan melalui penegakan etika sebelum penerapan hukum. Sehingga meskipun tidak melanggar secara formil, namun kecurangan pemilu sebenarnya tetap dapat terjadi.
“Pelanggaran pemilu mencakup tindak pidana pemilu, pelanggaran administratif pemilu, dan pelanggaran kode etik pemilu. Akan tetapi, kecurangan tidak hanya terjadi pada waktu ketiga hal tersebut dilakukan. Ketika niatan curang sudah terlihat dan upaya menjalankan hal tersebut sudah ada, maka kecurangan dapat dikatakan sudah terjadi meski belum memenuhi unsur pelanggaran secara formil,” ujarnya.
Cecep mencontohkan bagaimana terlanggarnya prinsip etika yang terjadi di Mahkamah Konstitusi. Dia juga menyorot lemahnya komitmen netralitas dan independensi dari Presiden RI hingga pejabat negara.
“Indonesia pada dasarnya menganut common law ketika nilai, etika, dan hukum adat diakui negara,” tegas Cecep.
Netralitas dan independensi merupakan prinsip etika yang harus dijunjung tinggi Presiden. Hal ini akan menentukan legitimasi hasil pemilihan umum dan menentukan tingkat kepercayaan terhadap penyelenggaraan pemilu.
Dia juga mengatakan, upaya politisasi bansos untuk kepentingan kampanye adalah perbuatan korup dan tidak beretika.
“Bansos itu merupakan bentuk intervensi negara yang sah saja, tapi upaya politisasi bansos sebagai pemberian untuk mendukung calon tertentu jelas merupakan tindakan korup dan tidak beretika,” jelasnya.
Baca Juga: Tugas, Wewenang dan Larangan Pengawas TPS Pemilu 2024
Baca Juga: Presiden RI Resmikan Terminal Leuwipanjang Kota Bandung, Jokowi: Keren Banget!
Ketua Pemuda ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) Jawa Barat, Jalu Priambodo mengatakan masyarakat Indonesia secara umum memiliki kelemahan dalam aspek budaya politik, sehingga rentan akan bentuk-bentuk pengerahan dukungan dengan iming-iming bantuan.
Dia memaparkan laporan Indeks Demokrasi Economist Intelligence Unit (EIU) tahun 2022 yang dipublikasikan tahun 2023 yang menyebutkan skor budaya politik Indonesia berada pada angka 4,38 poin.
Aspek ini lah yang menyebabkan skor total Indeks Demokrasi Indonesia tertahan di 6,71 meski sudah menyelenggarakan pemilu dengan partisipasi politik yang tinggi.
“Rendahnya budaya politik menunjukkan bahwa masyarakat kita tidak kritis dalam mengambil keputusan politik. Sehingga mudah terbawa arus dukungan hanya karena aspek emosional maupun imbalan bantuan,” terangnya.
Jalu menyimpulkan bahwa upaya rekayasa dalam aspek ini dapat secara langsung mempengaruhi hasil pemilihan umum.
“Kecurangan sangat mungkin dilakukan dengan memanfaatkan budaya politik rendah melalui politisasi bantuan sosial maupun pengerahan dukungan dari aparat. Masyarakat diarahkan untuk tidak melihat gagasan maupun rekam jejak kandidat sehingga membuat demokrasi kita tidak berkualitas,” ujar Jalu.
Baca Juga: KA Papandayan Rute Jakarta-Bandung-Garut, Seminggu Beroperasi Angkut 4.063 Pelanggan
Upaya memenangkan pemilihan seperti ini biasanya diikuti juga upaya mempertahankan kekuasaan dengan cara serupa di masa mendatang.
Dalam kesempatan yang sama, Agung Munandar, Ketua KAMMI Jawa Barat, memaparkan temuan pelanggaran kampanye yang dilakukan selama pemilihan umum serta telah melakukan laporan terhadap pelanggaran yang terjadi ke Bawaslu.
“KAMMI menyoroti netralitas ASN, bahkan ada yang sudah dilaporkan. Kami juga mengkritisi penyaluran bantuan sosial yang berlebihan jelang Pemilu, angka bansos yang diturunkan pemerintah sebesar Rp468 triliun, jauh lebih besar dibandingkan saat pandemi. Apalagi diturunkan di tengah kontestasi pemilu yang rawan dipolitisasi,” katanya.
Ketua Departemen Advokasi PP KAMMI, Hadiyan Rasyadi menyoroti adanya upaya intimidasi yang dilakukan aparat terhadap mereka yang berupaya melaporkan adanya pelanggaran Pemilu. Kasus tersebut menimpa pengurus PP KAMMI dan saat ini tengah diusut oleh pihak kepolisian. (**)
Lihat Berita dan Artikel lainnya di: Google News
Baca Juga: