- Ragam
- 12 Sep 2025
Perjalanan panjang akademik dan karier Rudy menjadi inspirasi bagi banyak orang. Berkat prestasinya, Rudy mendapat kesempatan menempuh studi internasional.
“Motivasi utama saya adalah membantu perusahaan dan rumah sakit di Indonesia agar bisa lebih disiplin, efisien, produktif, dan profitable. Untuk bisa mengajarkan itu, saya sendiri harus belajar dan membuktikan teori yang saya kembangkan secara akademis,” ujar Rudy dilaman resmi ITB.
Topik disertasinya pun lahir dari kepedulian tersebut. Dengan judul "Hospital Strategy Execution System by Maximizing Daily EBITDA to Enhance Operation Performance and Profitability", Rudy meneliti strategi manajemen rumah sakit melalui pendekatan maximizing daily EBITDA. Metode ini terbukti mampu mengubah perusahaan dari kondisi merugi menjadi lebih sehat dan berkelanjutan. Saat ini, ia aktif membantu puluhan rumah sakit daerah (RSUD) di Jakarta dalam memperbaiki kinerja keuangannya.
Meski usianya terpaut jauh dari rekan-rekan sekelas, Rudy tidak pernah merasa lelah. Ia tetap belajar hingga larut malam, menulis artikel akademik, dan berhasil menerbitkan dua artikel di jurnal bereputasi Scopus Q1.
Bagi Rudy, kunci utama dalam menulis adalah menyelaraskan penelitian dengan praktik nyata. Setiap topik yang ia angkat berangkat dari pengalaman profesional, sehingga teori yang ia tulis dapat dibuktikan secara akademis sekaligus relevan secara praktis.
Rudy membagikan tips bagaimana dirinya bisa menulis artikel Scopus sambil menempuh studi doktoral. Menurutnya, kuncinya adalah menyinkronkan riset akademik dengan aktivitas profesional sehari-hari.
“Bikin sinkron, yang dikerjakan di kantor dengan riset di kampus, sehingga bermanfaat. Begitu belajar itu, kita mikirin bagaimana kita apply di pekerjaan kita. Caranya sehingga makin lama pelajaran kita makin bermanfaat untuk pekerjaan. Sangat efisien jadinya,” katanya.
Ia juga menekankan pentingnya sikap pantang menyerah ketika menghadapi penolakan dari jurnal. Setiap catatan dari reviewer ia jadikan bahan belajar untuk memperbaiki tulisan.
“Begitu ditolak, saya makin punya alasan untuk belajar lagi. Semakin ditolak, semakin sempurna tulisan saya,” ujarnya.
Bagi Rudy, masukan dari reviewer bukan hambatan, melainkan panduan untuk membuat argumen lebih kuat. Ia pun rajin menelusuri literatur tambahan yang disarankan, lalu menyempurnakan karyanya hingga akhirnya diterima.
Dukungan penuh dari keluarga dan lingkungan SBM ITB menjadi bagian penting dari keberhasilannya. Sang istri yang juga lulusan magister dari Boston University, anak-anak, hingga cucu-cucunya selalu memberi semangat di balik perjuangan panjang tersebut.
Bagi Rudy, kelulusan ini bukan sekadar pencapaian pribadi, melainkan bentuk tanggung jawab untuk berbagi ilmu. “Ilmu itu tidak ada manfaatnya kalau tidak dimanfaatkan orang lain. Semoga apa yang saya pelajari bisa membantu banyak perusahaan dan rumah sakit di Indonesia,” ungkapnya.
“Seluruh sarjana S1 ITB, 50% harus jadi master. Dan dari yang master, 50% lagi harus jadi doktor. Bukan untuk diri sendiri, tapi untuk Indonesia,” pesannya.
Wisuda Rudy menjadi pengingat bahwa semangat menuntut ilmu, kepedulian terhadap sesama, dan dedikasi untuk bangsa tidak pernah mengenal batas usia.